Fiqih

Fiqih Ringkas Makanan (ath’imah)


Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah pada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat serta pengikutnya.

Makanan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia. Makanan memiliki pengaruh yang sangat besar baik pada jasmani maupun rohani kita. Allah memerintahkan untuk memakan makanan yang halal dan thoyib (baik). Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.” (QS Al Baqarah: 168)

Hukum Makanan

Hukum asal dari makanan (termasuk minuman) adalah halal. Banyak sekali dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan akan hal ini. Diantaranya adalah firman Allah ta’ala,

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS Al Baqarah: 29)

Allah menciptakan apa-apa yang ada di bumi untuk kemaslahatan manusia. Seluruh makanan dan minuman halal bagi manusia kecuali yang telah dijelaskan keharamannya. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah ta’ala telah mewajibkan beberapa perkara, maka janganlah kamu meninggalkannya dan telah menetapkan beberapa batas, maka janganlah kamu melampauinya dan telah mengharamkan beberapa perkara maka janganlah kamu melanggarnya dan Dia telah mendiamkan beberapa perkara sebagai rahmat bagimu bukan karena lupa, maka janganlah kamu membicarakannya.” [HR Daruquthniy 3450. Hasan] Segala sesuatu yang Allah dan RasulNya tidak jelaskan keharamannya baik berupa makanan, minuman, pakaian atau yang lainnya maka hukum asalnya adalah halal.

Kaidah: Setiap makanan yang suci (thohir) dan tidak bermudharat maka halal. Sebaliknya makanan yang najis atau bermudharat maka haram seperti bangkai, darah, air kencing, tinja, khamr, dan lainnya. Makanan yang bermudharat maka haram dikonsumsi seperti racun, khamr, termasuk juga rokok. Allah melarang kita menjatuhkan diri dalam kebinasaan. Allah berfirman,

وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS Al Baqarah: 195)

Jenis Makanan

Makanan ada dua jenis: tumbuh-tumbuhan dan hewan. Adapun tumbuh-tumbuhan seperti biji-bijian, buah-buahan, sayuran dan lainya maka seluruhnya halal kecuali yang bermudharat.  Adapun untuk hewan ada dua jenis: hewan yang hidup di darat (bariyyah) dan hewan yang hidup di laut/air (bahriyyah).

Hewan Darat

Hewan darat hukumnya halal kecuali yang diharamkan syariat. Secara ringkas hewan yang diharamkan ada enam macam:

  1. Hewan yang dengan jelas disebutkan keharamnya dalam nash (dalil syar’i) seperti babi [QS Al Ma’idah: 3] dan keledai piaraan [HR Bukhari 4219 dan Muslim 1941].
  2. Yang ditetapkan kaidah tentang keharamannya seperti “Setiap hewan buas yang bertaring dan burung yang bercakar”. Disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan burung yang bercakar” [HR Muslim 1934, Abu Dawud 3803]. Termasuk dalam hal ini adalah anjing, singa, dan elang.
  3. Yang memakan bangkai seperti burung nasar (burung pemakan bangkai)
  4. Hewan yang khabits (menjijikkan) seperti ular, tikus, serangga.
  5. Hasil perkawinan hewan yang halal dimakan dengan hewan yang haram dimakan seperti bighal (peranakan keledai piaraan dengan kuda)
  6. Apa-apa diperintahkan untuk membunuhnya atau dilarang untuk membunuhnya. Diantara hewan yang diperintahkan membunuhnya adalah lima binatang fasiq (membahayakan) yaitu tikus, kalajengking, burung rajawali, burung gagak dan anjing gila [Lihat HR Bukhari 3314 dan Muslim 1198]. Contoh yang dilarang membunuhnya adalah burung hud hud, burung shurad dan lainnya.

Selain yang disebut diatas maka hukumnya halal seperti kuda, hewan ternak (sapi, kambing, onta, dll), keledai liar, kelinci dan lainnya. Dikecualikan dalam hal ini jalalah, yaitu hewan (sapi, kambing, ayam, atau yang lain) yang makanannya – atau mayoritas makanannya – adalah najis. Hewan jalalah haram dimakan kecuali setelah dikaratina dan diberi makan dari yang suci.   

Hewan Laut (Air)

Hewan yang hidup di air seperti ikan dan lainnya halal dan tidak perlu disembelih. Rasulullah bersabda tentang air laut, “Dia thohur (suci) airnya dan halal bangkainya” [HR Abu Dawud 83, Tirmidziy 69, Nasa’I 59 dan Ibnu Majah 386]

 

Penyembelihan yang Syar’i

Salah satu syarat halalnya hewan adalah disembelih dengan cara yang sesuai syar’i. Allah berfirman,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah , daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.”  (QS Al Ma’idah: 3)

Yang dimaksud bangkai adalah hewan yang mati bukan dengan cara penyembelihan yang syar’i (tenggelam, tercekik dan semisalnya). Sedang yang yang dimaksud darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir. Adapun darah yang tersisa pada daging setelah penyembelihan maka halal dan tidak najis. Seluruh bangkai hukumnya haram dimakan kecuali belalang dan ikan (dan seluruh hewan yang hanya hidup di air). Disebutkan dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’, “Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang. Sedangkan dua darah yaitu hati dan limpa” [HR Ahmad 5723 dan Ibnu Majah 3218]

Syarat penyembelihan ada 4:

  1. Ahliyatu al mudzakiy: orang yang menyembelih harus berakal, beragama islam atau ahlil kitab (yahudi dan nashrani). Maka tidak sah sembelihan orang yang gila, anak kecil yang belum mumayyis atau orang musyrik (selain ahlil kitab)
  2. Dengan alat yang tajam seperti pisau dari besi. Setiap benda yang tajam boleh digunakan untuk menyembelih selain gigi dan tulang [Lihat HR Bukhari 2488 dan Muslim 1968].
  3. Memutus al hulqum (jalur nafas), al mar’i (jalur makan dan minum) dan salah satu al wadjain (dua urat pembulu darah). Untuk onta disunnahkan disembelih dengan cara nahr, yaitu ditusuk pada bagian pangkal lehernya. Adapun untuk selain onta (seperti kambing dan sapi) maka disunnahkan disembelih di halq (ujung lehernya, yang dekat kepala). Tetapi jika tidak mampu menyembelih pada tempat tersebut misal hewannya liar sehingga tidak dapat dipegang atau lari maka boleh disembelih dengan melukai bagian tubuhnya yang memungkinkan (misal dipanah) [Lihat HR Bukhari 3075 dan Muslim 1968].
  4. Saat menyembelih menyebut nama Allah (bismillah).

Dimakruhkan menyembelih dengan alat menyembelih yang tumpul (tidak tajam) karena hal tersebut menyakiti hewan. Demikian juga dimakruhkan menyembelih tidak menghadap kiblat, memutus leher serta menguliti sebelum hewannya benar-benar mati.

Tentang Berburu

Berburu binatang (shaid) diperbolehkan jika memang itu kebutuhan. Adapun jika sekedar hobi atau kesenangan bukan karena kebutuhan maka makruh. Jika sampai mengandung unsur kedzoliman seperti menyebabkan rusaknya tanaman atau harta benda orang lain maka haram. Dalil tentang bolehnya berburu adalah firman Allah ta’ala,

قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُم مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ

Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu.” (QS Ma’idah: 4)

Berburu dapat menggunakan alat untuk berburu seperti panah atau hewan yang dilatih untuk berburu (seperti anjing atau elang). Disyaratkan menyebut nama Allah (“bismillah”) saat melepas alat atau hewan untuk berburu. Jika hasil buruan masih hidup saat tertangkap maka harus disembelih dengan cara yang syar’i (sebagaimana dijelaskan sebelumnya).

Pentutup

Sekian penjelasan singkat tentang fiqih makanan, tatacara penyembelihan dan berburu. Hendaknya kita menjauhi makanan yang haram karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap jasmani dan rohani kita. Makanan yang haram adalah salah satu penyebab tidak terkabulkannya do’a. Namun perlu diperhatikan bahwa dalam keadaan darurat sesuatu yang haram boleh dikonsumsi. Allah ta’ala berfirman:

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah: 173)

Tulisan ini kami sarikan dari kitab Mulakhos Fiqhy karya Syaikh Dr. Shaleh Al Fauzan, hafidzahullah ta’ala.

 

Selesai ditulis di Riyadh, 21 Muharram 1437H.

Abu Zakariya Sutrisno

Dipublish ulang dari: www.ukhuwahislamiah.com

Tinggalkan komentar